Saat memasukkan ananda ke sekolah berbasis agama, sebut saja sekolah dasar Islam terpadu, seyogyanya para orang tua menyadari bahwa mereka tidak bisa begitu saja lepas tanggung jawab. Sehebat apa pun program sekolah tetap membutuhkan kerja sama pihak orang tua karena ananda tidak 24 jam berada di sekolah. Dengan kata lain, mendidik anak bukan tugas utama pihak sekolah.
Pada tahun ajaran baru Juli 2024 lalu santer beredar kabar beberapa sekolah dasar negeri tidak lagi "laku". Bahkan ada yang tidak mendapatkan murid satu pun. Melansir dari kompas.com, terdapat lima SDN di Ponorogo-Jawa Timur yang tidak mendapat siswa baru, yakni SDN 4 Jurug Sooko, SDN Truneng Slahung, SDN Baosan Lor Ngrayun, SDN 1 Bajang Mlarak, dan SDN Setono Ponorogo.
Selain itu, masih di kabupaten yang sama, terdapat empat SDN yang mendapatkan masing-masing satu murid baru. Empat SDN itu, yakni SDN 4 Ngadirojo Sooko, SDN 1 Kauman, SDN Sukosari Kauman, dan SDN 2 Nglumpang Mlarak.
Lebih lanjut, artikel tersebut menyebutkan beberapa faktor penyebab masalah di atas. Salah duanya adalah keberhasilan program KB dan maraknya orang tua yang menyekolahkan anak ke sekolah berbasis agama. Karena sekolah yang tidak mendapat murid tadi adalah SDN berarti sekolah berbasis agama yang dimaksud di sini SDIT.
Kali ini, saya akan menyoroti alasan poin kedua. Dewasa ini SDIT tengah merasakan pamor terbaiknya, di kota saya pun SDIT swasta menjadi incaran para orang tua. Sebagai contoh di SDIT tempat anak saya bersekolah, tiap tahunnya pendaftaran murid baru membludak.
Untuk mengatasinya, pihak sekolah hanya menerima murid khusus lulusan TK yang berada dalam satu yayasan dengan sekolah dasar tersebut. Animo masyarakat yang begitu tinggi bahkan menyebabkan SDIT tersebut kini menjadi dua sekolah, SDIT 1 dan SDIT 2.
Pada awalnya pendaftaran dilakukan secara langsung. Orang tua telah mengantre dari sebelum subuh, bahkan ada yang memutuskan menginap. Beruntung sekarang sistemnya sudah beralih ke online, sehingga tidak perlu repot datang ke lokasi. Namun, persoalannya ada pada kehabisan kuota atau server down karena terlalu banyak yang mengakses.
Euforia ini tentu menyiratkan sebuah fenomena, bahwasannya kesadaran orang tua untuk membekali nilai agama pada anak cukuplah tinggi. Padahal SDIT relatif mahal bila dibanding sekolah lain, apalagi sekolah negeri yang gratis.
Di satu sisi, ini merupakan hal positif, tetapi di sisi lain, masih banyak orang tua yang mengharapkan anak otomatis akan saleh dan berprestasi setelah masuk SDIT, tanpa harus melakukan bimbingan di rumah. Hal itu mereka anggap wajar sebagai kompensasi biaya besar yang telah dikeluarkan.
Ini terjadi pada salah satu kenalan saya. Beliau berseloroh "Makanya dimasukkan ke SDIT juga biar saya tidak perlu mengajari lagi". Kalau pihak sekolah mendengarnya tentu mereka pun tidak akan menyanggupinya.
Sepengalaman saya menyekolahkan anak di SDIT, pihak sekolah kerap meminta kerja sama orang tua. Bukan hanya membimbing saat mengulang pelajaran, tetapi juga memperhatikan salat dan mengajinya.
Setiap anak diberikan sebuah buku kegiatan sehari-hari berupa jadwal salat, membaca buku, berdoa, membantu orang tua, serta kegiatan lain yang merupakan pembiasaan perilaku baik. Buku ini diisi dan ditandatangani oleh orang tua.
Kalau dipikir lagi, waktu anak masih lebih banyak di rumah daripada di sekolah. Tentu tidak mungkin melimpahkan semua kewajiban mendidik anak kepada pihak sekolah. Sekolah "hanya" bertindak sebagai partner orang tua dalam membimbing anak.
Hal ini sejalan dengan beberapa dalil berikut ini yang menyebutkan atau menyiratkan bahwa pendidikan itu tugas utama orang tua.
- Wahai orang-orang yang beriman! Peliharaan dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (Q.S. At-Tahrim: 6)
- “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya dan demikian juga seorang pria adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari: 2278)
- “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim: 7679)
- Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya. Dan dia juga akan ditanya mengenai kebaikan dirimu kepadanya serta ketaatannya kepada dirimu.” (Tuhfah al Maudud hal. 123)
Oleh karena itu, orang tua seharusnya memahami, pihak sekolah "hanya" membantu kita dalam menjalankan tugas utama sebagai pendidik anak. SDIT menjadi penunjuk atas kefakiran kita atas ilmu, terutama ilmu agama. Dalam praktiknya, orang tua tetap harus membimbing anak dalam kebaikan sehingga terbentuk kepribadian sebagaimana yang diharapkan.
SDIT memang mempunyai beban lebih terkait nama yang disandang dan biaya besar terhadap harapan orang tua. Namun, itu tidak lantas memindahkan tanggung jawab utama mendidik anak dari orang tua ke pihak sekolah.
Idealnya, kedua belah pihak bisa bekerja sama dalam mendidik anak sesuai porsinya masing-masing. Bukankah it takes a village to raise a child? Artinya, sekolah pun punya peranan penting dalam membentuk karakter baik anak, tentu sesuai kapasitasnya.
Sebagai tambahan, ada sebuah pepatah Arab yang tentangnya saya berani bertaruh tidak ada orang tua yang tidak mengenal bagian pertama ungkapan tersebut.
Al-Ummu madrasatul ula wal abu mudiruha yang artinya ibu madrasah pertama dan ayah kepala sekolah.
Ibu dan ayah memang pendidik pertama anak. Ibu sebagai sekolah yang memiliki makna melakukan pengajaran secara langsung. Namun, segala pengajaran tersebut harus sesuai dengan kurikulum dari ayah sebagai kepala sekolah. Maka dari itu keduanya mesti bekerja sama, ya, meskipun ungkapan di awal jauh lebih tersohor. Hal itu tidak mengurangi arti penting figur ayah dalam mendidik anak.
Jelaslah sudah, bahwa selamanya orang tua menjadi pendidik pertama dan utama bagi anak. Namun, dalam perjalanannya orang tua boleh meminta bantuan pihak luar, dalam hal ini SDIT, untuk menggenapkan ikhtiar dalam melaksanakan kewajiban.
Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI supported by BRI.
Sumber:
https://surabaya.kompas.com/read/2024/07/18/173109778/lima-sdn-di-ponorogo-tak-dapat-murid-baru-4-sdn-hanya-memperoleh-1-orang
Post a Comment
Post a Comment